BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Teori
2.1.1 Impulse Buying
Impulse Buying adalah suatu perilaku tanpa direncanakan dengan hasrat untuk dapat memiliki sesuatu yang menggairahkan dan pengambilan keputusannya relatif cepat (Widiyati & Ghozi, 2018). Menurut Solomon dan Rabolt impulse buying adalah suatu kondisi yang terjadi ketika individu mengalami perasaan terdesak secara tiba-tiba yang tidak dapat dilawan (Sari & Faisal, 2018). Pembelian impulsif adalah pembelian yang dilakukan karena keinginan untuk membeli sesuatu secepat mungkin, seringkali tanpa memikirkan konsekuensinya (Fitriyah & Pohan, 2023). Impulse buying merupakan perilaku pembelian yang terjadi secara spontan tanpa perencanaan sebelumnya, sering kali disertai dengan konflik batin dan dorongan emosional yang kuat. Pembelian ini umumnya terjadi secara tiba-tiba, dipicu oleh perasaan senang yang kompleks serta motivasi tinggi akibat pengaruh berbagai faktor eksternal. Faktor-faktor seperti harga promo, strategi pemasaran yang agresif, tampilan produk yang mencolok di toko, serta kepuasan dalam mengoleksi barang dapat mendorong konsumen untuk beralih dari sekadar tertarik menjadi keinginan untuk segera membeli produk tersebut (Hermanto, 2016).
Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa impulse buying atau pembelian impulsif adalah tindakan membeli suatu barang atau jasa secara spontan tanpa perencanaan sebelumnya. Keputusan ini sering kali didasarkan pada dorongan emosional atau rangsangan eksternal, seperti promosi menarik, diskon besar, tampilan produk yang menggoda, atau suasana belanja yang menyenangkan. Menurut Rook (Yahmini, 2019) bahwa perilaku impulse buying memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Spontanitas (Spontaneous) adalah dorongan tiba-tiba dan tak terduga yang dapat mendorong konsumen untuk membeli produk secara langsung, dengan respons yang memabukkan terhadap stimulus visual langsung di tempat penjualan.
2. Konsumen akan terdorong untuk meninggalkan hal-hal dan langsung mengambil tindakan disebabkan karena adanya kekuatan, kompulsi, dan intensitas (power, compulsion and intensity)
3. Antusiasme dan stimulasi (excitement and stimulation) adalah dorongan tiba-tiba guna membeli sesuatu produk, apalagi dengan asumsi bahwa produk itu memberikan kegembiraan serta dorongan.
4. Tidak peduli dengan akibat (disregard for consequences), perasaan membeli produk yang sulit ditolak mengatasi akibat negatif.
Faktor yang paling berpengaruh dalam mendorong konsumen untuk berbelanja di pusat perbelanjaan adalah pengaruh sosial. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mencapai tujuan penelitian ini, pelaku industri perlu memprioritaskan faktor tersebut dalam membangun emosi positif pada konsumen, sehingga dapat memicu perilaku belanja impulsif. Oleh karena itu, perilaku belanja impulsif perlu menjadi perhatian utama bagi pelaku industri, termasuk tenant maupun outlet yang beroperasi di dalamnya, guna meningkatkan penjualan secara signifikan serta mendorong pertumbuhan ekonomi mikro yang lebih baik. Pengaruh sosial ini dapat dikombinasikan dengan visual merchandising, yang juga berperan penting dalam menciptakan emosi positif selama proses berbelanja dan mendorong pembelian impulsif. Penataan produk atau jasa yang informatif serta desain tata letak yang optimal secara empiris terbukti mampu meningkatkan pengalaman belanja yang lebih menyenangkan dan memperkuat dorongan untuk berbelanja tanpa perencanaan (Hafidz & Tamzil, 2021).
2.1.2 Price Discount
Price discount merupakan potongan harga yang diberikan oleh penjual kepada pembeli sebagai harga atas aktivitas tertentu dan pembeli yang menyenangkan bagi penjual (Tjiptono, 2008). Price discount, merupakan penghematan yang ditawarkan pada konsumen dan harga normal akan suatu produk, yang tertera di label atau kemasan produk tersebut (Armstrong & Kotler, 2003). Discount atau potongan harga merupakan salah satu bentuk dari promosi penjualan yang sering diterapkan oleh pemasar yang lebih ditujukan kepada konsumen akhir (Wahyudi, 2017). Berdasarakan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa price discount atau diskon harga adalah pengurangan harga dari harga asli suatu produk atau jasa yang diberikan oleh penjual kepada konsumen. Diskon ini bertujuan untuk menarik minat pembeli, meningkatkan penjualan, atau menghabiskan stok barang tertentu.
Menurut Kotler (Firmansyah, 2019) diskon memiliki beberapa jenis antara lain :
1. Diskon tunai (cash discount)
Potongan harga yang diberikan kepada pelanggan yang membayar dalam jangka waktu tertentu atau secara tunai. Biasanya digunakan untuk mendorong pembayaran lebih cepat, terutama dalam transaksi bisnis ke bisnis (B2B). Contohnya, perusahaan menawarkan diskon 2% jika pembayaran dilakukan dalam waktu 10 hari setelah pembelian.
2. Diskon jumlah (quantity discount)
Pengurangan harga yang diberikan kepada pelanggan yang membeli dalam jumlah besar. Tujuannya adalah untuk mendorong pembelian dalam volume lebih tinggi dan meningkatkan loyalitas pelanggan. Misalnya, pembelian 10 unit barang mendapatkan diskon 10%.
3. Diskon fungsional (fungsional discount)
Diskon yang diberikan kepada perantara bisnis, seperti distributor atau pengecer, sebagai bentuk kompensasi atas peran mereka dalam distribusi, pemasaran, atau penjualan produk. Contohnya, produsen memberikan diskon khusus kepada pengecer yang mempromosikan produk mereka di toko.
4. Diskon musiman (seasonal discount)
Potongan harga yang diberikan pada waktu-waktu tertentu, biasanya untuk mendorong penjualan produk yang permintaannya bersifat musiman. Contohnya, diskon akhir tahun, diskon pakaian musim panas saat memasuki musim dingin, atau diskon menjelang hari raya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian diskon (Kusnawan, Silaswara, & Sefung, 2019), antara lain :
1. Barang akan segera digantikan dengan model yang lebih baru
2. Barang mengalami kesulitan dalam penjualannya karena ada kesalahan pada produk
3. Perusahaan mengalami masalah keuangan
4. Harga akan semakin turun jika harus menunggu lebih lama
5. Mutu produk akan diturunkan oleh perusahaa
Jenis-jenis diskon (Winarno & Sujana, 2003), yaitu :
1. Bank discount (diskon bank) adalah potongan yang diperhitungkan bank atas sejenis surat berharga karena dibeli sebelum jatuh tenpo
2. Cash discount (potongan tunai) adalah potongan untuk merangsang pembayaran tunai atau pembayaran sebelum jatuh tempo
3. Chain discount (potongan beruntun) adalah potongan yang diberikan berturut-turut (berurutan) atas harga barang yang sudah didiskon
4. Functional discount (potongan fungsional) adalah potongan atas fungsi tertetu
5. Ordinary discount (potongan biasa) adalah pengurangan harga yang dikenakan atas suatu barang atau jasa yang diberikan oleh pemasok kepada pelanggan. Potongan harga dapat ditawarkan karena pembayaran yang dilakukan dengan cepat atau karena pembelian dalam partai besar
6. Quantity discount (potongan kuantitas) adalah merupakan potongan borongan, yaitu potongan harga untuk merangsang pembelian dalam jumlah besar
7. Trade discount (potongan dagang) adalah pengurangan harga dari yang tercantum dalam daftar harga
2.1.3 Hedonic Shopping
Kata hedon lazim juga dilontarkan kepada seseorang yang mempunyai hasrat belanja tinggi, membeli barang ini itu tanpa berpikir panjang. Hedonisme berasal dari bahasa Yunani ‘Hedone’ yang berarti kesenangan, kenikmatan, bersenangsenang. Hedonisme adalah sebuah kepercayaan bahwa kesenangan harus merupakan tujuan utama dalam hidup (Fitria & Prastiwi, 2020). Hedonic shopping adalah aktivitas berbelanja yang dilakukan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan fungsional, tetapi juga untuk mendapatkan kepuasan emosional, kesenangan, dan pengalaman yang menyenangkan. Konsumen yang berbelanja secara hedonis biasanya menikmati proses belanja itu sendiri, terlepas dari apakah mereka benar-benar membutuhkan produk yang dibeli. Menurut Nainggolan hedonik shopping berpengaruh terhadap shopping lifestyle konsumen, dimana shopping lifestyle merupakan cerminan pilihan seseorang dalam menghabibiskan waktu dan uang mereka (Fitria & Prastiwi, 2020). Kebutuhan hedonis ini meliputi kesenangan, keinginan memiliki barang baru, dan adanya produk yang menarik. Sifat dasar manusia yang tidak gampang puas pun ditengarai sebagai kemunculan sikap hedonis (Elyta & Mutia, 2020).
Faktor-faktor yang mendorong hedonic shopping meliputi kesenangan dalam eksplorasi produk, pengalaman sosial, perasaan bahagia saat mendapatkan diskon atau promo, serta kepuasan dalam memiliki barang baru. Berbelanja dalam konteks ini sering kali menjadi bentuk hiburan, pelampiasan stres, atau cara untuk meningkatkan suasana hati. Oleh karena itu, strategi pemasaran yang berfokus pada pengalaman, seperti tampilan toko yang menarik, diskon eksklusif, dan suasana belanja yang nyaman, dapat mendorong perilaku belanja hedonis dan meningkatkan pembelian impulsif.
2.1.4 Brand Awareness
Brand awareness (kesadaran akan sebuah merek) merupakan kemampuan suatu merek untuk muncul dalam benak konsumen ketika mereka sedang memikirkan kategori produk tertentu dan seberapa mudah nama tersebut dimunculkan (Brestilliani & Suhermin, 2020). Kesadaran merek adalah kesanggupan seseorang calon pembeli untuk mengenal atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu (Aaker, 2010). Kesadaran merek menunjukkan kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu (Durianto, Darmadi, Sugiarto, & Sitinjak, 2001). Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Brand awareness atau kesadaran merek adalah sejauh mana konsumen mengenali dan mengingat suatu merek sebagai bagian dari kategori produk tertentu. Kesadaran merek mencerminkan tingkat familiaritas konsumen terhadap suatu merek, baik melalui pengenalan (recognition) maupun pengingatan kembali (recall).
Brand awareness merupakan tujuan utama dalam setiap strategi promosi. Dengan membangun kesadaran merek, pemasar berharap bahwa ketika konsumen memiliki kebutuhan terhadap suatu kategori produk, merek tersebut akan diingat kembali. Hal ini memungkinkan merek tersebut menjadi salah satu pilihan yang dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan. Brand awareness memerlukan adanya rentang kontinum, mulai dari sekadar perasaan tidak yakin bahwa suatu merek pernah dikenal sebelumnya hingga keyakinan penuh bahwa merek tersebut adalah satu-satunya dalam kategori produk tertentu. Rentang ini mencerminkan berbagai tingkatan brand awareness, yang dapat divisualisasikan dalam bentuk piramida untuk menunjukkan perbedaan tingkat pengenalan merek oleh konsumen (Utomo, 2017).
Gambar 2. 1 Piramida Brand Awareness
Sumber : (Durianto, Darmadi, Sugiarto, & Sitinjak, 2001)
Penjelasan Mengenai Piramida Brand Awareness dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi adalah:
1. Unaware of Brand merupakan tingkat kesadaran merek yang paling rendah, di mana konsumen sama sekali tidak mengetahui keberadaan suatu merek.
2. Brand Recognition adalah tingkat dasar dari kesadaran merek, yang menjadi faktor penting ketika seorang pembeli memilih merek saat melakukan pembelian. Pengakuan merek ini didasarkan pada tes pengingatan kembali dengan bantuan. Pengenalan merek menjadi elemen mendasar dalam kesadaran merek karena membantu konsumen mengenali merek saat berhadapan dengan berbagai pilihan produk.
3. Brand Recall atau pengingatan kembali merek merupakan tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Pada tahap ini, konsumen dapat menyebutkan suatu merek dalam kategori produk tertentu tanpa bantuan. Berbeda dengan pengenalan merek, dalam brand recall responden tidak diberi petunjuk atau bantuan untuk mengingat merek tersebut.
4. Top of Mind adalah tingkat tertinggi dalam kesadaran merek. Jika seseorang dapat langsung menyebutkan nama merek pertama kali ketika ditanya tanpa bantuan, maka merek tersebut berada di posisi puncak dalam ingatan konsumen. Jika suatu merek menempati posisi tertinggi dalam pengingatan konsumen dengan persentase dominan, maka merek tersebut disebut sebagai merek dominan, yang menjadi satu-satunya merek yang paling diingat oleh responden.
2.2 Kerangka Berpikir
Pembelian impulsif (impulse buying) merupakan fenomena yang sering terjadi dalam dunia ritel dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor utama yang dapat mendorong perilaku pembelian impulsif adalah diskon harga (price discount). Ketika konsumen melihat adanya diskon, mereka cenderung tergoda untuk membeli suatu produk meskipun awalnya tidak berencana untuk melakukannya. Diskon harga menciptakan persepsi keuntungan dan urgensi yang dapat memicu keputusan pembelian secara spontan. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa semakin besar diskon harga yang diberikan, semakin tinggi kemungkinan terjadinya pembelian impulsif (H1).
Selain itu, belanja hedonis (hedonic shopping) juga berperan dalam mendorong impulse buying. Konsumen yang menikmati aktivitas berbelanja sebagai bentuk hiburan atau kepuasan emosional lebih rentan terhadap pembelian impulsif. Ketika mereka merasa senang dan terhibur selama berbelanja, dorongan untuk membeli barang tanpa perencanaan menjadi lebih kuat. Dengan demikian, semakin tinggi kecenderungan belanja hedonis, semakin besar peluang seseorang melakukan pembelian impulsif (H2).
Namun, hubungan antara diskon harga dan belanja hedonis terhadap impulse buying dapat dipengaruhi oleh kesadaran merek (brand awareness). Konsumen yang memiliki kesadaran tinggi terhadap suatu merek lebih cenderung merespons diskon dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan mereka yang kurang mengenal merek tersebut. Jika suatu merek sudah dikenal dengan baik dan dipercaya oleh konsumen, maka pengaruh diskon harga terhadap impulse buying akan semakin kuat. Sebaliknya, jika konsumen kurang mengenal merek tersebut, mereka mungkin lebih berhati-hati dalam merespons diskon, sehingga efeknya terhadap impulse buying menjadi lebih lemah (H3).
Begitu pula dalam konteks belanja hedonis, kesadaran merek dapat memperkuat hubungan antara belanja hedonis dan impulse buying. Konsumen yang menyukai suatu merek tertentu cenderung lebih menikmati pengalaman berbelanja ketika berinteraksi dengan produk dari merek tersebut. Hal ini meningkatkan kemungkinan mereka melakukan pembelian impulsif saat merasakan kesenangan dalam proses belanja. Dengan kata lain, semakin tinggi kesadaran merek, semakin kuat hubungan antara belanja hedonis dan impulse buying (H4).
Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini berusaha menganalisis bagaimana diskon harga dan belanja hedonis memengaruhi pembelian impulsif, serta sejauh mana kesadaran merek berperan sebagai variabel moderasi dalam hubungan tersebut. Pemahaman mengenai faktor-faktor ini diharapkan dapat membantu perusahaan dalam merancang strategi pemasaran yang lebih efektif untuk meningkatkan impulse buying di kalangan konsumen.
Gambar 2. 2 Kerangka Berpikir
2.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian adalah pernyataan sementara yang dibuat berdasarkan teori atau pengamatan awal untuk diuji dalam suatu penelitian. Hipotesis berfungsi sebagai dugaan atau prediksi mengenai hubungan antara variabel yang diteliti dan akan diuji kebenarannya melalui analisis data.
Berdasarkan kerangka berfikir diatas maka hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut :
H1 : Price discount berpengaruh signifikan terhadap impulse buying
H2 : Hedonic shopping berpengaruh signifikan terhadap impulse buying
H3 : Brand Awarness memoderasi hubungan price discount terhadap impulse buying
H4 : Brand Awarness memoderasi hubungan hedonic shopping terhadap impulse buying
DAFTAR PUSTAKA
Aaker, D. A. (2010). Manajemen Ekuitas Merek: Memanfaatkan Nilai dari Suatu Merek, Cetakan Ketiga. Jakarta: Penerbit Mitra Utama.
Aini, S. N. (2024). Peran Minat Beli dalam Memediasi Hubungan Flash Sale dan Voucher Diskon Terhadap Keputusan Pembelian Produk Fashion di Marketplace Shopee. ISTIKHLAF: Jurnal Ekonomi, Perbankan dan Manajemen Syariah, 6(2), 55-72.
Armstrong, & Kotler. (2003). Dasar-dasar Pemasaran, Jilid 1, Edisi Kesembilan. Jakarta: PT. Indeks Gramedia.
Artana, I. W., Wisesa, I. B., Setiawan, I. K., Utami, N. P., Yasa, N. K., & Jatra, M. (2019). PENGARUH STORE ATMOSPHERE, DISPLAY PRODUCT, DAN PRICE DISCOUNT TERHADAP IMPULSE BUYING (Studi kasus pada Indomaret di kota Denpasar). E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, (8) 4, 396-394.
Brestilliani, L., & Suhermin. (2020). Pengaruh brand awareness, brand ambassador, dan harga terhadap keputusan pembelian online pada marketplace shopee (studi pada mahasiswa stiesia). Jurnal Ilmu Dan Riset Manajemen (JIRM), 9(2), 1-19.
Dharma, P. K., & Kusumadewi, N. W. (2018). Peran Emosi Memediasi Pengaruh Store Atmosphere terhadap Perilaku Pembelian di Karakter Kopi. E-Jurnal Manajemen Unud, 7(12), 6815-6841.
Durianto, Darmadi, Sugiarto, & Sitinjak, T. (2001). Strategi Menaklukan Pasar melalui Riset Ekuitas dan Perilaku Merek. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Elyta, R., & Mutia, R. (2020). Kecil-kecil Jago Finansial: Mendidik Generasi Cerdas Finansial Sejak Dini. Laksana.
Firmansyah, M. A. (2019). Pemasaran (Dasar Dan Konsep). Semarang: CV. Penerbit Qiara Media.
Fitria, T. N., & Prastiwi, I. E. (2020). Budaya Hedonisme dan Konsumtif dalam Berbelanja Online Ditinjau dari Perpektif Ekonomi Syariah. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 6(3), 731-736.
Fitriyah, D. N., & Pohan, H. T. (2023). PENGARUH PENGGUNAAN GOPAYLATER TERHADAP PERILAKU IMPULSE BUYING PENGGUNA E-COMMERCE DI JAKARTA. Jurnal Ekonomi Trisakti, 3(1), 1025-1034.
Hafidz, G. P., & Tamzil, F. (2021). Faktor Yang Mempengaruhi Impulse Buying. Jurnal Ekonomi: Journal of Economic, 12(02), 125-135.
Hermanto, E. Y. (2016). Pengaruh Fashion Involvement Terhadap Impulse Buying Behaviour Masyarakat Surabaya Dengan Hedonic Shopping Motivation Dan Positive Emotion Sebagai Variabel Intervening Pada Merek Zara. Jurnal Manajemen Pemasaran, 10(1), 11-19.
Jatmika, D. (2018). Hubungan budaya individualis-kolektif dan motivasi berbelanja hedonik pada masyarakat kota Jakarta. Psibernetika, 10(1), 9-19.
Kotler, P. (2015). Manajemen Pemasaran. Jilid 1. Edisi 13. Jakarta: Erlangga.
Kusnawan, A., Silaswara, D., & Sefung, T. (2019). Pengaruh Diskon pada Aplikasi e-Wallet terhadap Pertumbuhan Minat Pembelian Impulsif Konsumen Milenial di Wilayah Tangerang. Sains Manajemen: Jurnal Manajemen Unsera, 5(2), 137-160.
Melina, & Kadafi, M. A. (2017). Pengaruh Price Discount Dan In-Store Display Terhadap Impulse Buying. Forum Ekonomi, 19 (2).
Nugraha, J., Sudianto, Kusumah, F. G., Maria, H. D., Pamungkas, A., & Listiana, P. (2024). PENGARUH MOTIVASI BELANJA HEDONIS TERHADAP PEMBELIAN IMPULSIF DARING PRODUK FESYEN ISLAMI. Jurnal Cakrawala Ilmiah, 3(6), 2107-2112.
Putra, Y. P., & Kusuma, N. I. (2021). IMPULSE BUYING DI E-COMMERCE TOKOPEDIA DIMASA PANDEMI. Dinamika Administrasi: Jurnal Ilmu Administrasi dan Manajemen, 4(1), 1-8.
Rinaldi, & Safitri, A. F. (2023). Pengaruh Fear of Missing Out (FoMO) terhadap Perilaku Konsumtif pada Mahasiswi Pembeli Barang Diskon Aplikasi Shopee. AHKAM, 2(4), 727-737.
Sari, D. R., & Faisal, I. (2018). Pengaruh Price Discount, Bonus pack, dan In-store display terhadap keputusan impulse buying pada giant ekstra banjar. Jurnal Sains Manajemen dan Kewirusahaan, 2(1), 51-60.
Solomon, M. (2020). Solomon, M. R. (2020). Consumer behavior: Buying, having, and being. Pearson.
Sulislawati, E., Prastiwi, E. H., & Kartika, Y. (2022). Pengaruh Persepsi Harga, Diskon, Dan Customer Experience Terhadap Loyalitas Pelanggan Produk Fashion Shopee. JAMIN: Jurnal Aplikasi Manajemen dan Inovasi Bisnis 5(1), 1-16.
Tjiptono, F. (2008). Strategi Pemasaran. Yogyakarta: Andi.
Utomo, I. W. (2017). Pengaruh Brand Image, Brand Awareness, dan Brand Trust Terhadap Brand Loyalty Pelanggan Online Shopping (Studi Kasus Karyawan Di BSI Pemuda). Jurnal Komunikasi, 8(1), 76-84.
Wahyudi, S. (2017). Pengaruh price discount terhadap impulse buying. Valuta, 3(2), 276-289.
Widiyati, S., & Ghozi, S. (2018). Peningkatan Impulse buying Mahasiswa di Semarang terhadap Produk Fashion Lokal melalui Ethnocentrisme, Brand Image dan Country of Origin (COO). Esensi. Jurnal Bisnis Dan Manajemen, 8(1), 49-56.
Winarno, S., & Sujana, I. (2003). Kamus Besar Ekonomi. Bandung: CV. Pustaka Grafika.
Wirasukessa, K., & Sanica, I. G. (2023). Fear of missing out Dan hedonisme Pada Perilaku Konsumtif millennials: Peran mediasi subjective norm dan attitude. Jurnal Ilmiah Manajemen, Ekonomi, & Akuntansi (MEA), 7(1), 156-175.
Yahmini, E. (2019). KECENDERUNGAN IMPULSE BUYING PADA MAHASISWA DITINJAU DARI LATAR BELAKANG KELUARGA. exero: journal of research in business and economics, 2(1), 41-56.

0 Komentar